Masterceme, Mistis - Kisah mistis nyata terbaru pada update hari ini adalah cerita seram dan menakutkan yang pernah di alami sewaktu dalam perjalanan di Gunung Tilu.Kisah misteri ini sedikit berbeda dengan cerita hantu kisah nyata melainkan pengalaman mistis gaib yang tak akan pernah terlupakan sampai sekarang ini.Jika ingin mencari cerita horor nyata paling seram bisa cari di menu home pada blog ini.Baiklah langsung saja kita simak cerita ular jadi jadian menghadang laju mobilku.
Acara peresmian perkebunan pendidikan di Perkebunan Gambung Ciwidey Kabupaten Bandung, baru saja usai. Hari sudah mulai senja, padahal acara itu sudah dimulai sejak pagi. Namun karena acaranya banyak dan panjang,setelah dipotong makan siang, dilanjutkan dengan bincang bincang diantara para ahli per-tehan dengan para pejabat Kementerian Pertanian.
Aku dan teman berpikir, bila Iangsung ditinggalkan bukan tidak mungkin ada materi-materi yang bisa dikembangkan.Akhirnya penungguan itu berakhirjuga, Menteri Pertanian dan para pejabat setelah bersalaman pergi meninggalkan tempat upacara. Sebelum pulang kami dan teman-teman berembuk, apakab mau Iangsung pulang lewat Ciwidey atau mau ke Pangalengan dahulu untuk membeli oleh oleh permen susu.
Semua sepakat akan ke tempat pembuatan permen susu itu, menunju kota Pangalengan yang jaraknya cukup jauh. Tapi kami semua yakin bisa ditempuh dalam beberapa jam, sama dengan menempuh dari Gambung ke Bandung. Saya yang lebih tahu tentang situasi, menjadi petunjuk jalan. Kendati sebenarnya dalam hati bertanya Tanya, apa benar jalan pintas yang kami tempuh itu benar atau tidak. Karena saya belum sempat menggunakan jalan itu, terkecuali hanya menggunakan setengah jalan ketika berburu burung.
Perjalanan dimulai, matahari senja menyorot kendaraan yang kami tumpangi. Tidak terasa mobil sudah mulai menembus kerimbunan hutan, disambut oleh suara seranga tonggeret yang memekakan telinga. Begitu pula suara burung sangat riuh pulang ke sarangnya masing-masing, sementara kalong kalong melayang layang di angkasa sambil berciutan. Di dalam keadaan minibus, kami semua diam menikmati pemandangan pinggir hutan.
Tidak terasa hari mulai gelap, selain gelap oleh kerimbunan hutan juga gelap karena memang alam sudah mulai gelap. Lampu mobil akhirnya harus dinyalakan, untuk memandu jalan yang semakin masuk hutan terasa semakin sempit. Tidak terasa perjalanan sudah berlangsung selama tiga jam, rasanya baru saja kami meninggalkan Perkebunan Gambung.
Setelah beberapa lama kami menempuh perjalanan dalam hutan, kami mulai merasakan ketidak beresan. Kandaraan selalu berputar putar kearah jalan yang sama, padahal di depan kami tidak pernah ada belokan Kami semua panik, dan mulai ribut dalam kendaraan menuding sopir salah mengambil jalan. Bila melihat patok jalan hutan, kami disasarkan hingga empat kali putaran. Hal ini terbukti dengan mengamati patok hutan, yang kami lalui itu itu juga.
Semua penumpang mulai berdoa. memohon petunjuk dari Allah SWT agar dimudahkan dan diberi jalan keluar dari tengah hutan belantara Gunung Tilu. Dalam mobil hanya terdengar suara doa-doa yang memohon kepada Allah, sehingga suara itu bergema keluar.
Setelah beberapa lama kami berdoa, tiba tiba tersorot olah lampu mobil ada seorang kakek sedang jalan dipinggir jalan kami. Dengan memberanikan diri saya turun, kendati hati berdebar keras.Saya tanyakan jalan yang menuju ke Desa Warnasari, karena kami kesasar berkeliling di tengah hutan. Si kakek yang wajahnya tidak begitu jelas menjawab pertanyaan saya, “nanti di depan ada belokan ke kiri, kamu ikuti saja jalan itu,” katanya. Kalau diperhatikan, suara yang dikeluarkan dari pembicaraan itu seperti sengau. Tapi karena kami semua panik, keganjilan itu tidak terperhatikan. Namun kami semua dikejutkan oleh suara auman harimau, ketika beberapa meter kami meninggalakan kakek itu.
Tentu saja yang paling kaget adalah saya, kalau yang bicara saat itu menjelma jadi harimau jadi jadian tentu saya yang paling pertama diterkam. Setelah agak ribut sebentar, terdengar sayup sayup suara orang yang tengah mengaji. Suara itu begitu jelas ke telinga kami, dan lepas dari suara itu memang kami menemukan belokan dengan jalan yang agak mulus.
Ketika kami tengah asyik menysuri jalan mobil itu, kami dikejutkan dengan halangan sebuah pokok pohon yang berwarna kehitam hitaman. Semua penumpang terhenyak, bagaimana membebaskan jalan itu dari “batang kayu ‘ yang melintang di tengah jalan. Lampu mobil masih tetap meyorot, namun ketika kami perhatikan batang pohon itu sepertinya bukan pokok batang kayu namun ular hitam yang besarnya sebesar batang pohon kelapa.
Melihat kenyataan ini, tentu saja kami semua jadi panik kanena baru pertama kali melihat ular sebesar batang pohon kelapa. Sayup-sayup secara jelas kami mendengarkan suara desis ular, yang memang dengan sengaja mencegat kami. Ular itu persis berada di muka jembatan kayu, dan sebuah sungai bernama Ciseke. Diperhitungkan dari batas Ciseke, ke tempat afdeling PTPN VIII Jabar ini sekitar 10 Km lagi.
Kepanikan semakin meningkat, bagaimana mengusir ular sebesar kelapa ini dari hadapan kami? Selintas terbersit dalam pikiran saya, obrolan paman saya di daerah Ciawitali Pangalengan yang menceritakan, bahwa dahulu kala di daerah Sungal Ciseke ini ada kisah entah benar atau tidak, tentang penseteruan antara seorang anak penyabit rumput dengan ular yang menghuni sungai itu. Nama penyabit rumput itu adalah Ikun,ia menemukan ular tengah melintas di hadapannya tatkala menyabit rumput untuk sapinya.
Konon ular itu sangat kecil, berhasil ditangkap dan dipotong tubuhnya jadi dua. Potongan ular itu kemudin dibuang ke sungai sambil berkata, nanti kalau sudah besar tunggui saya di sini kita berkelahi. Entah berapa tahun setelah kejadian itu, banyak diceritakan oleh para petani sayur bila lewat di daerah Sungai Ciseke selalu dicegat oleh “Si Bujang” menunggu tantangan Ikun. Entah benar atau tidak, tapi yang pasti kami benar benar dicegat oleh ular sebesar batang kelapa.
Mau tidak percaya bagaimana, di depan mata kami melintang ular menghalangi jalan perlintasan kami. Setelah kepanikan kami mereda, lantas saya mengintruksikan kepada semua teman untuk membacakan sholawat nabi.
Sementara saya menyisipkan kata kata mohon izin dari si Bujang untuk lewat di jalan ini, karena di mobil kami tidak membawa Ikun yang entah dimana dia sekarang. Pandangan mata ini benar benar nyata, sementara di mobil kami ada beberapa wartawan harian Jakarta dan Bandung yang menyaksikan peristiwa fenomena alam ini.
Beberapa menit kami setelah membaca Sholawat Nabi, perlahan-lahan tapi pasti ular besar itu menggelosor ke suangai Ciseke yang tidak begitu besar. Kami semua menyaksikan keanehan yang mungkin tidak akan pernah menemukannya kembali, memang ular yang tidak tampak kepalanya itu, bagian ekornya buntung.
Entah siapa yang pertama kali menamakan ular itu si Bujang, namun hingga saat ini kami tidak pernah mendengar kembali ular si Bujang dari Gunung Tilu mengganggu orang. Karena Ikun katanya sudah lama meninggal dunia. Ia penduduk kampung pulo menjadi tukang sabit rumput dari beberapa sapi daerah itu.
Beberapa menit kemudian kami menemukan Afdeling Warnasani, plong rasanya hati kami sudah terbebas dari petaka yang hampir saja merengut jiwa kami. Allah masih melindungi kami semua, bila tanpa perlindungannya, pertama kami mungkin disasarkan kealam gaib jadi penghuni negeri halus Hutan Gunug Tilu, dan yang kedua kami dibinasakan ular siluman si Bujang penunggu Gunung Tilu.
No comments:
Post a Comment